top of page

Proyek MIFEE: Ambisi Keamanan Energi dan Pangan di Tengah Ancaman Ekologis

ree

Dalam upaya global untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pemerintah Indonesia telah meluncurkan salah satu proyek strategis terambisiusnya, yaitu Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Inisiatif ini bertujuan untuk memperkuat keamanan energi melalui produksi bioethanol dari tebu dan memastikan keamanan pangan nasional melalui tanaman seperti beras, dengan rencana untuk membersihkan 2–3 juta hektar lahan di Merauke, Papua. Alasan utama di balik proyek ini adalah untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi dan pangan impor, terutama di tengah ketegangan geopolitik global seperti perang, embargo, atau gangguan pada rantai pasokan internasional.

Namun, di balik ambisi besar ini terdapat ironi yang mengkhawatirkan. Proyek ini direncanakan di wilayah yang tidak hanya dianggap sebagai lumbung pangan potensial tetapi juga salah satu sisa terakhir hutan hujan tropis Asia Pasifik yang kaya akan karbon dan keanekaragaman hayati. Wilayah ini juga menjadi rumah bagi komunitas asli seperti suku Malind, yang identitas budaya dan cara hidupnya sangat terkait dengan hutan. Dalam upaya mengejar energi “bersih”, pembukaan hutan primer untuk bioenergi berisiko menimbulkan konsekuensi serius bagi ekosistem dan hak-hak masyarakat asli.


Potensi Strategis dan Aspek Positif Proyek MIFEE

Meskipun mendapat kritik luas terkait dampaknya terhadap ekologi dan sosial, Proyek MIFEE didasarkan pada beberapa tujuan strategis. Di luar kontroversi, proyek ini mencerminkan ambisi untuk meningkatkan keamanan energi dan pangan nasional, mengurangi ketergantungan impor, dan mengembangkan sektor industri baru berbasis bioenergi. Mengakui potensinya, penting untuk mengidentifikasi jalur konstruktif untuk meningkatkan desain dan implementasi proyek, memberikan pelajaran untuk kebijakan di masa depan.

  1. Keamanan Energi dan Pangan Nasional

    MIFEE bertujuan untuk mengurangi ketergantungan impor dengan memproduksi bioethanol skala besar dari tebu dan beras, memperkuat kemandirian di tengah krisis global.

  2. Diversifikasi Energi

    Bioethanol dari MIFEE berpotensi menggantikan bahan bakar fosil, mengurangi impor bahan bakar, dan mengembangkan pasar energi terbarukan.

  3. Pertumbuhan Industri dan Penciptaan Lapangan Kerja

    Proyek ini dapat merangsang investasi, menciptakan lapangan kerja, dan melibatkan komunitas lokal sebagai mitra produktif.

  4. Evaluasi Pembangunan Nasional

    MIFEE menjadi kesempatan untuk mengevaluasi secara kritis transisi energi demi inklusi yang lebih besar dan tata kelola berbasis bukti.


Bioenergi dan Risikonya terhadap Lingkungan

Secara teori, bioethanol dari tanaman seperti tebu merupakan sumber energi terbarukan yang dapat mengurangi emisi karbon. Namun, jika bahan bakunya berasal dari pembukaan hutan alam, manfaat iklimnya menjadi kontraproduktif. Dalam kasus MIFEE, konversi lahan di Merauke diperkirakan akan melepaskan jumlah besar emisi karbon, yang dapat mengancam target Net Zero Emission Indonesia pada tahun 2060. Meskipun perkiraan pemerintah menyebutkan sekitar 315 juta ton CO₂ ekuivalen, angka yang lebih kuat dan kredibel berasal dari Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS), yang memperkirakan bahwa pembukaan lahan hingga 2 juta hektar dapat melepaskan hingga 782,45 juta ton CO₂. Hal ini menimbulkan risiko iklim yang serius, berpotensi menunda upaya netralitas karbon Indonesia selama satu dekade.

Sangat penting untuk mendasarkan klaim semacam ini pada sumber yang terpercaya, seperti laporan CELIOS, studi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bappenas, atau badan internasional seperti IPCC atau WRI. Tanpa data yang kuat, argumen tentang dampak iklim proyek ini berisiko ditolak dalam debat publik dan kebijakan.

Hutan Papua menyimpan jumlah karbon yang besar, terutama dalam biomassa dan tanah gambut. Ketika hutan-hutan ini ditebang dan dibakar, karbon yang tersimpan selama berabad-abad dilepaskan ke atmosfer, menciptakan “utang karbon.” Manfaat iklim dari bioethanol hanya akan terwujud setelah puluhan atau bahkan ratusan tahun—suatu kemewahan yang tidak kita miliki di tengah krisis iklim saat ini.

Selain karbon, wilayah ini merupakan habitat spesies endemik seperti kanguru pohon, burung surga, dan kasuari. Mengganti hutan tropis yang kaya ini dengan monokultur tebu berarti kehilangan ekosistem yang jauh lebih kompleks dan layanan alam yang mereka sediakan, seperti penyerapan karbon, perlindungan air, dan stabilitas tanah.

 

Social Tragedy Behind Large-Scale Development

In Papua, the forest is more than a natural resource it is a space of life and cultural identity. For the Malind people and other Indigenous communities, forests provide food, medicine, spiritual connection, and social continuity. MIFEE has systematically disrupted these foundations.

Land acquisitions are often carried out without transparency or adherence to the principle of FPIC (Free, Prior, and Informed Consent). Many communities do not fully understand the contracts they are signing, or are pressured into agreement without fair review. As a result, they lose customary land, access to traditional food sources, and are pushed into new systems of dependency as low-wage plantation laborers.

This is more than physical displacement; it is the erosion of autonomy, identity, and inherited rights. Social conflicts have begun to emerge both within communities and between residents and companies signaling that development which ignores social dimensions only plants the seeds for long-term crises.


Tragedi Sosial di Balik Pembangunan Skala Besar

Di Papua, hutan bukan hanya sumber daya alam, tetapi juga ruang kehidupan dan identitas budaya. Bagi masyarakat Malind dan komunitas asli lainnya, hutan menyediakan makanan, obat-obatan, koneksi spiritual, dan kelangsungan sosial. MIFEE telah secara sistematis mengganggu fondasi-fondasi ini.

Pengadaan lahan sering dilakukan tanpa transparansi atau kepatuhan terhadap prinsip FPIC (Persetujuan Bebas, Sebelumnya, dan Berinformasi). Banyak komunitas tidak sepenuhnya memahami kontrak yang mereka tandatangani, atau dipaksa untuk menyetujui tanpa tinjauan yang adil. Akibatnya, mereka kehilangan tanah adat, akses ke sumber makanan tradisional, dan didorong ke sistem ketergantungan baru sebagai pekerja perkebunan dengan upah rendah.

Ini lebih dari sekadar pengusiran fisik; ini adalah erosi otonomi, identitas, dan hak warisan. Konflik sosial mulai muncul baik di dalam komunitas maupun antara penduduk dan perusahaan, menandakan bahwa pembangunan yang mengabaikan dimensi sosial hanya menanam benih krisis jangka panjang.


Mengkritisi Klaim Keamanan Energi dan Pangan

Salah satu alasan utama MIFEE adalah untuk meningkatkan keamanan energi dan pangan nasional. Namun, baik secara ekologi maupun sosial, alasan ini lemah. Tebu dan beras sebagai komoditas utama membutuhkan jumlah air, pupuk, dan infrastruktur irigasi yang besar, yang tidak sesuai dengan lanskap savana yang mendominasi di Merauke dan sistem drainase yang buruk. Ekosistem lokal tertekan karena pertanian intensif dipaksakan pada lahan yang secara alami tidak cocok untuknya.

Sementara itu, debat global “pangan versus bahan bakar” semakin relevan; menggunakan lahan subur untuk produksi bioenergi skala besar tidak bijaksana, terutama di tengah krisis iklim dan kelaparan. Selain itu, manfaat energi bioethanol baru akan dirasakan puluhan tahun kemudian, akibat utang karbon yang tinggi.

Secara ekonomi, keberlanjutan proyek ini juga dipertanyakan. Ketergantungan pada subsidi, biaya logistik tinggi di Papua, dan ketidakcocokan antara janji awal dan realitas di lapangan menimbulkan kekhawatiran bahwa MIFEE dapat menjadi beban fiskal dan ekologi. Setelah mengkaji tujuan, potensi, dan risiko proyek, penting untuk melampaui kritik. Sebagai konsultan, kita harus menawarkan perspektif konstruktif tentang cara membuat transisi energi dan pangan lebih adil dan berkelanjutan, terutama dengan melindungi lingkungan dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.


Rekomendasi untuk Proyek MIFEE

Mengingat dampak ekologi, sosial, dan ekonomi MIFEE, pendekatan yang lebih adil dan hati-hati diperlukan. Proyek ini tidak boleh dinilai hanya berdasarkan ambisinya, tetapi juga berdasarkan keberlanjutan lingkungan, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, dan tanggung jawab fiskal. Rekomendasi berikut bertujuan untuk mengarahkan proyek ini ke jalur yang lebih berkelanjutan:

  • Alihkan proyek ke lahan yang terdegradasi untuk menghindari deforestasi dan emisi tinggi.

  • Lakukan penilaian lingkungan dan sosial yang terbuka dengan ahli independen dan data spasial.

  • Tegakkan prinsip FPIC untuk memastikan komunitas adat terlibat dan memberikan persetujuan secara bebas.

  • Dorong bioenergi skala kecil berbasis komunitas untuk kemandirian energi tanpa merusak ekosistem.

  • Integrasikan agroekologi dan pengetahuan lokal untuk menghindari monokultur yang tidak sesuai dengan lingkungan Papua.

  • Perkuat tata kelola dan transparansi dengan menciptakan pengawasan independen dan memastikan kontrak yang adil.

  • Ulas kembali posisi proyek sesuai dengan target Emisi Nol Bersih dan pertimbangkan moratorium jika diperlukan.


Transisi Energi yang Adil dan Berkelanjutan

Indonesia tidak perlu memilih antara energi bersih dan perlindungan hutan; keduanya dapat dan harus berjalan beriringan. Dekarbonisasi sejati bukan hanya tentang mengganti sumber energi, tetapi tentang merancang sistem energi dan pangan yang berakar pada keadilan sosial, perlindungan ekosistem, dan kebijaksanaan lokal.

Alih-alih mengandalkan proyek-proyek besar seperti MIFEE, pemerintah dapat mengadopsi pendekatan yang lebih adaptif dan berkelanjutan, seperti:

  • Mendorong bioenergi skala kecil berbasis komunitas, seperti biogas dari limbah ternak atau pertanian.

  • Mengembangkan pertanian dan energi di lahan-lahan terdegradasi yang jutaan hektar tersedia di Indonesia tanpa perlu menebang hutan.

  • Memastikan partisipasi aktif komunitas asli dalam perencanaan dan implementasi proyek, sesuai dengan prinsip FPIC.

  • Membangun sistem agroekologi dan energi terbarukan yang desentralisasi, disesuaikan dengan kondisi lokal, dan lebih tangguh terhadap krisis iklim dan ekonomi.

Reforestasi penting, tetapi tidak pernah dapat sepenuhnya menggantikan hutan primer yang hilang. Oleh karena itu, strategi terbaik adalah mencegah deforestasi sejak awal. Ini bukan hanya tentang karbon, tetapi tentang keadilan antar generasi.


Kesimpulan: Menuju Transisi yang Tidak Meninggalkan Siapa Pun

Cerita MIFEE berfungsi sebagai cermin yang mencerminkan arah pembangunan nasional kita. Hal ini mengingatkan kita bahwa transisi energi bukan hanya tentang perubahan teknologi, tetapi pergeseran nilai dan paradigma. Jika dikelola secara adil dan berkelanjutan, Indonesia dapat menjadi pemimpin global dalam transisi energi yang tidak meninggalkan siapa pun, baik manusia maupun alam.

 
 
 

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
bottom of page