top of page

Kemajuan dalam Teknologi Desain Turbin Angin: Implikasi bagi Sektor Energi Angin Indonesia

ree

Energi angin merupakan pilar utama dalam transisi energi global, didorong oleh efisiensi yang terus meningkat dan daya saing biaya yang semakin baik. Pada tahun 2023, kapasitas terpasang energi angin global diperkirakan mencapai 1.008 GW, dengan penambahan signifikan sebesar 73 GW dalam satu tahun. Hal ini mencerminkan komitmen global terhadap dekarbonisasi dan kematangan teknologi angin yang semakin berkembang. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumber daya energi angin yang melimpah, diperkirakan mencapai total 155 GW, terdiri dari 60,4 GW energi angin darat dan 94,2 GW energi angin lepas pantai. Meskipun potensi ini sangat besar, pemanfaatan aktualnya masih sangat minim, hanya sebagian kecil dari potensi total. Kemajuan dalam desain turbin sangat krusial untuk menjadikan energi angin secara ekonomis layak dan operasional efisien dalam kondisi ini, mengubah potensi teoretis menjadi sumber energi praktis.


Kemajuan teknologi dalam desain turbin angin merupakan kunci untuk meningkatkan efisiensi, keandalan, dan keberlanjutan sistem pembangkit energi angin, terutama dalam konteks Indonesia. Inovasi ini sangat relevan mengingat potensi angin yang unik di kepulauan Indonesia dan target ambisius negara ini dalam transisi energi bersih. Penggunaan bahan canggih seperti serat karbon dan grafen telah merevolusi desain bilah turbin. Bahan-bahan ini mampu memperkuat struktur bilah sambil secara signifikan mengurangi beratnya. Hal ini memungkinkan turbin beroperasi secara lebih optimal, bahkan dalam kondisi angin lemah yang umum terjadi di banyak wilayah Indonesia. Pasar global untuk bilah turbin angin berbahan serat karbon diperkirakan akan tumbuh signifikan, dari US$4,39 miliar pada 2023 menjadi US$15,9 miliar pada 2032, dengan Asia-Pasifik sebagai kontributor utama, menunjukkan tren regional menuju adopsi bahan-bahan canggih ini.


Source: Astute Analytica, 2024
Source: Astute Analytica, 2024

Penerapan profil aerodinamis yang dioptimalkan, seperti seri NACA (misalnya NACA 2410), sangat penting untuk menyesuaikan kinerja turbin dengan karakteristik angin lemah yang umum di Indonesia. Profil-profil ini dirancang untuk memaksimalkan gaya angkat dan meminimalkan gaya hambat pada sudut serang tertentu, yang sangat penting untuk penangkapan energi yang efisien dalam kondisi angin yang bervariasi. Meskipun NACA 2410 dikatakan efektif untuk kecepatan angin rendah (didukung oleh studi di Aceh), data perbandingan langsung antara profil NACA 2410 dengan profil lain seperti NACA 4412 atau seri S dari NREL secara khusus dalam rentang kecepatan angin 1,5-6,5 m/s yang umum di Indonesia masih terbatas. NACA 4412 dikenal karena koefisien angkatnya yang tinggi dan hambatan yang rendah, sementara profil sayap seri S dari NREL dikembangkan untuk meminimalkan kerugian kinerja pada turbin angin yang diatur oleh stall. Pilihan profil sayap yang optimal sangat bergantung pada interaksi kompleks antara rentang kecepatan angin, ukuran turbin, dan strategi pengendalian.


Integrasi teknologi digital seperti Internet of Things (IoT) dan Kecerdasan Buatan (AI) dalam sistem pemantauan turbin sangat penting untuk mendeteksi kerusakan secara dini dan mengoptimalkan kinerja secara real-time. Sensor IoT mengumpulkan data besar mengenai kecepatan angin, suhu, getaran, dan output daya. Data ini kemudian dianalisis oleh AI untuk memprediksi kinerja, mengidentifikasi anomali, dan merekomendasikan pemeliharaan proaktif.


Kemampuan pemeliharaan prediktif ini sangat penting untuk mengurangi biaya operasi dan pemeliharaan (O&M), yang dapat sangat besar bagi pembangkit listrik tenaga angin. Dengan mencegah kegagalan besar dan mengoptimalkan parameter operasional, teknologi ini meningkatkan keandalan sistem dan memaksimalkan output energi. Pembangkit listrik tenaga angin Sidrap di Sulawesi Selatan adalah contoh jelas peningkatan kinerja pembangkit listrik tenaga angin melalui inovasi desain dan sistem pemantauan modern. Meskipun detail spesifik implementasi IoT/AI komersial di Pembangkit Listrik Tenaga Angin Sidrap tidak dijelaskan secara rinci, penelitian ini membahas pengembangan sistem pemantauan berbasis IoT prototipe untuk pembangkit listrik tenaga angin, termasuk turbin vertikal, untuk memantau tegangan, arus, dan daya secara jarak jauh. Hal ini menggambarkan penerapan umum dan manfaat sistem semacam itu dalam konteks Indonesia, dengan tujuan menggantikan metode pemantauan manual dengan solusi otomatis yang lebih efisien. Teknologi IoT dan AI memungkinkan pemantauan kinerja turbin secara real-time, pemeliharaan prediktif, dan optimasi operasi jarak jauh. Kemampuan ini memungkinkan deteksi dini masalah potensial, mencegah kegagalan besar yang mahal, dan memfasilitasi penjadwalan pemeliharaan yang lebih efisien. Dengan secara signifikan mengurangi downtime yang tidak terduga dan mengoptimalkan alokasi sumber daya untuk pemeliharaan, IoT/AI secara langsung menurunkan biaya O&M, sehingga meningkatkan Levelized Cost of Energy (LCOE) secara keseluruhan dan meningkatkan keuntungan proyek. Selain itu, kemampuan pemantauan jarak jauh mengatasi tantangan logistik dan biaya tinggi yang terkait dengan akses dan pemeliharaan turbin di daerah terpencil di Indonesia atau lokasi lepas pantai.


Pemerintah Indonesia fokus pada target jangka panjang untuk campuran energi terbarukan, dengan target 31% pada tahun 2050 dan transisi menuju emisi nol bersih pada tahun 2060 (dengan target 72% energi terbarukan pada tahun 2060), menggantikan target lama sebesar 23% pada tahun 2025. Dalam mencapai target-target ini, dua inovasi turbin angin menonjol: Turbin Angin Sumbu Vertikal (VAWT) dan Turbin Angin Mengapung. VAWT menawarkan opsi menarik bagi Indonesia karena kemampuannya beroperasi pada kecepatan angin rendah dan dalam kondisi arah angin yang berubah-ubah, karakteristik umum di banyak wilayah domestik. Di Institut Teknologi Kalimantan (ITK), misalnya, tim PUI Energi Terbarukan Berbasis Fluida mengembangkan VAWT berkapasitas 300W dengan desain yang mampu beroperasi pada kecepatan angin rendah dan tanpa memerlukan orientasi arah angin. Studi tambahan memperkuat potensi VAWTs, seperti sistem kontrol cerdas berbasis AI dengan area sapuan variabel untuk mempercepat startup dan menstabilkan daya pada kecepatan rendah, serta simulasi CFD dan eksperimen pada turbin Savonius dan H-rotor yang menunjukkan efisiensi operasional pada kecepatan 2-6 m/s.


Selain itu, konsep turbin angin lepas pantai terapung (FOWTs) muncul sebagai solusi krusial untuk memanfaatkan potensi angin lepas pantai Indonesia yang melimpah, terutama di perairan dalam di mana turbin berfondasi tetap tidak feasible. Sistem ini dapat mengakses angin yang lebih kuat dan konsisten di lepas pantai. ITK juga mengembangkan prototipe Struktur Terapung Mobile (MFS) yang dirancang untuk dapat dipindahkan, memungkinkan sistem ini memperoleh energi di perairan dengan kecepatan angin lebih tinggi. Secara global, FOWTs seperti Hywind dan WindFloat telah membuktikan kelayakan pembangkit listrik terapung di laut dalam, menangkap angin yang lebih kuat. Meskipun LCOE awal untuk FOWTs lebih tinggi (€140/MWh pada 2018), diperkirakan akan menurun secara signifikan menjadi sekitar $60/MWh pada 2040. Untuk VAWT terapung khususnya, LCOE dapat jauh lebih kompetitif, berkisar antara USD 110-213/MWh, berkat platformnya yang kompak, pusat gravitasi yang rendah, dan fondasi yang lebih ringan, yang secara drastis mengurangi CAPEX dan O&M. Ketidakhadiran nacelle yang berat juga menyederhanakan pemeliharaan, mengurangi kebutuhan akan kapal besar dan mahal.


Di Indonesia Timur, pengembangan turbin angin, baik VAWT maupun terapung, dihadapkan pada tantangan signifikan. Infrastruktur energi masih terbatas, sementara biaya pengadaan dan logistik sangat tinggi. Kondisi cuaca ekstrem seperti badai tropis juga mempersulit desain dan operasi turbin. Mengatasi tantangan ini memerlukan pengembangan sumber daya manusia lokal yang menguasai teknologi desain, konstruksi, dan pemeliharaan turbin, serta penelitian lokal yang memperhitungkan kondisi regional yang adaptif di wilayah timur. Kerja sama antara universitas, pemerintah daerah, dan industri sangat penting untuk mengembangkan peta jalan implementasi dan memastikan solusi inovatif ini dapat diterapkan secara efektif di lapangan. Dalam konteks VAWT, beberapa studi menunjukkan bahwa desain sumbu vertikal cenderung lebih murah dalam hal instalasi, operasi, dan pemeliharaan dibandingkan turbin sumbu horizontal (HAWT), terutama karena tidak memerlukan gearbox, generator yang dipasang tinggi, dan mekanisme yaw yang kompleks. Misalnya, desain X-Rotor dapat mengurangi biaya turbin sebesar 32% dan biaya O&M sebesar 55% dibandingkan dengan turbin konvensional. Adapun turbin terapung, VAWTs menawarkan platform yang lebih kompak, pusat gravitasi yang rendah, dan fondasi yang lebih ringan, yang secara signifikan menurunkan CAPEX dan O&M serta menurunkan LCOE menjadi sekitar USD 110-213/MWh, jauh lebih kompetitif dibandingkan model awal. Inovasi non-teknis seperti modularitas dan kemudahan instalasi juga menjadi faktor penting dalam mengurangi biaya. Komponen VAWT yang dapat diproduksi secara prefabrikasi dan dipasang dengan cepat di lokasi mengurangi biaya tenaga kerja dan transportasi. Demikian pula, pada turbin terapung, struktur ringan dan pelepasan beban nacelle memudahkan pergerakan dan pemeliharaan tanpa memerlukan kapal besar, sehingga mengurangi biaya logistik secara signifikan.


Indonesia menghadapi beberapa tantangan signifikan dalam mengembangkan sektor energi terbarukan, termasuk aspek regulasi, teknis, dan keuangan. Dari segi regulasi, investor mengeluhkan prosedur pengadaan yang tidak transparan, kewajiban untuk bermitra dengan PLN, serta skema ā€œdeliver-or-payā€ yang kompleks dan tarif plafon yang menekan keuntungan proyek energi terbarukan (EBT). Kondisi ini diperparah oleh tumpang tindihnya mandat lokal dan perubahan kebijakan yang sering terjadi, yang membatasi kepastian bisnis jangka panjang bagi para pemodal.


Aspek teknis juga menjadi hambatan utama, termasuk infrastruktur transmisi yang terbatas, integrasi jaringan, dan risiko geografis di Indonesia Timur. Secara finansial, biaya modal yang tinggi, suku bunga yang tinggi, dan kurangnya akses ke kredit jangka panjang membuat pembiayaan proyek energi terbarukan menjadi sulit, meskipun instrumen seperti obligasi hijau dan pembiayaan campuran mulai dikembangkan. Untuk mengatasi hal ini, rekomendasi kebijakan konkret perlu diimplementasikan. Pemerintah dapat menyederhanakan dan mempercepat proses perizinan melalui OSS dan skema regulasi satu atap (Perpres 112/2022), disertai insentif fiskal seperti libur pajak, pembebasan PPN, dan bea masuk untuk perangkat energi terbarukan. Selain itu, skema jaminan publik seperti BVGL dan IIGF perlu diperluas untuk mengurangi risiko kredit dan menarik partisipasi swasta yang lebih besar. Penting juga untuk memiliki tarif feed-in yang dijamin dan transparan untuk memperbaiki kondisi tarif yang tidak menguntungkan saat ini.


Kolaborasi lintas sektor juga sangat penting. Contoh konkret seperti kemitraan PLN Powerchina dalam studi potensi dan kelayakan angin di seluruh Indonesia menunjukkan peran sinergis antara BUMN dan investor asing. Dukungan internasional melalui JETP, yang mengalirkan dana melalui ADB hingga $500 juta, membuka peluang untuk reformasi dan pengembangan infrastruktur energi terbarukan. Indonesia juga dapat mengikuti model kesuksesan negara lain seperti program pembiayaan campuran dan sukuk hijau yang telah terbukti efektif.


Strategi untuk meningkatkan adopsi harus mencakup area-area berikut:

  1. Penyusunan peta potensi energi terbarukan secara rinci berdasarkan wilayah.

  2. Pengembangan infrastruktur jaringan transmisi dan penyimpanan energi.

  3. Pendirian digital dan lokalisasi teknologi melalui sumber daya manusia melalui pelatihan vokasi dan penelitian kolaboratif.

  4. Penyediaan dukungan fiskal di wilayah prioritas seperti Indonesia Timur. Langkah-langkah ini dapat meningkatkan kepercayaan investor, mempercepat proyek-proyek nyata, dan menutup kesenjangan energi nasional.


Target resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PLN melalui draf RUPTL 2025-2035 dan RUKN menetapkan kapasitas terpasang tambahan hingga 5 GW tenaga angin hingga 2030, yang dikonfirmasi oleh pernyataan Direktur Jenderal EBTKE Eniya Listiani Dewi pada 27 September 2024. Angka ini bukan sekadar proyeksi, tetapi bagian dari kebijakan pemerintah dalam jangka menengah. Pembangunan pembangkit listrik tenaga angin di Indonesia melibatkan berbagai pemain global dan lokal yang berperan besar dalam mempercepat transisi energi bersih. Raksasa Denmark Vestas terlibat dalam proyek seperti Pembangkit Listrik Tenaga Angin Jeneponto (65 MW) dan Pembangkit Listrik Tenaga Angin Sidrap (70 MW) di Sulawesi Selatan sebagai kontraktor EPC, menunjukkan kepercayaan pemerintah dan pelaku industri terhadap keahlian teknis mereka. Sementara itu, UPC Renewables bermitra dengan PLN melalui dukungan konstruktif seperti pada proyek Sukabumi Wind Farm (lebih dari 258 MW), mengonfirmasi komitmen mereka dalam mengembangkan pembangkit listrik tenaga angin berskala besar di negara ini.


Di sisi lain, peran perusahaan lokal tidak kalah penting: PT Kenertec Power System (KPS), anak perusahaan Korindo Group, memproduksi menara turbin. KPS telah memproduksi lebih dari 2.500 menara bersertifikat ISO dan TKDN hingga 30-40% bahan lokal sejak 2006, termasuk 30 menara untuk pembangkit listrik tenaga angin Sidrap, dan menembus pasar global di Amerika, Eropa, dan Asia. Meskipun KPS saat ini fokus pada produksi menara turbin dan bukan pada desain atau pengembangan teknologi turbin secara keseluruhan (komponen lain seperti nacelle, rotor, dan sistem kontrol masih didominasi oleh teknologi impor), kehadirannya dalam rantai pasok mempercepat pengurangan biaya, meningkatkan ketahanan rantai pasok, dan memfasilitasi transfer teknologi serta penyerapan tenaga kerja lokal. Semua kolaborasi ini sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk meningkatkan campuran energi terbarukan, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan memenuhi target pengurangan emisi. Proyek pembangkit listrik tenaga angin dari Vestas dan UPC, yang didukung oleh produksi komponen lokal oleh PT Kenertec, merupakan bukti nyata sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan industri dalam mewujudkan transisi energi berkelanjutan.


Ā 
Ā 
Ā 

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
bottom of page